26 September 2008

Narasi dan Kesadaran

Moralitas lebih sering dikaitkan dengan ajaran tentang bagaimana orang harus hidup dengan baik dan benar agar menjadi manusia yang baik. Sumber utama ajaran moral adalah tradisi dan adat istiadat, ajaran agama-agama atau ideologi. Adapun etika dipahami sebagai filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran dan pandangan-pandangan moral. Namun etika juga dianggap sebagai sebuah wacana normatif meski tidak selalu harus imperatif karena bisa juga hipotetis, yang membicarakan antara baik dan buruk yang dianggap sebagai nilai relatif.

Sebagai ilmu tentang moral, tentang apa yang harus dan tidak harus dilakukan, bukan semata-mata aspek normatif baik-buruk, benar-salah, etika terkait erat dengan cara berpikir seseorang. Jika cara berpikir seseorang berbeda maka keseluruhan pengalaman hidupnya juga akan berbeda. Di sisi lain, cara berpikir sangat terkait dan dipengaruhi oleh kondisi sosio, budaya dan historis.

Selama ini, proses berpikir dan pemahaman selalu dikaitkan dengan teks dan konteks. Akan tetapi, penalaran etika tampak lebih didominasi oleh prinsip-prinsip dasar yang seringkali terlepas dari konteks. Dalam penalaran etika, prinsip-prinsip rasional menjadi tempat berpijak dan menempati posisi kunci. Ironisnya, keinginan untuk menggunakan fondasi rasional bagi moralitas justru membuat teori moral kontemporer mengabaikan bahkan menolak signifikansi narasi bagi refleksi etis. Padahal narasi merupakan sebentuk bangunan ‘realitas’ yang mampu menjembatani antara prinsip-prinsip abstrak dengan realitas kongkrit.

Narasi sebagai bangunan yang mencerminkan realitas mampu membawa persoalan moral langsung ke hadapan audiens. Bahkan ketika memahami dan menjelaskan prinsip-prinsip etis seperti keadilan, kesabaran dan kebaikan pun selalu dibutuhkan adanya narasi yang akan mendekatkan konsep dengan konteks realitas. Melalui narasi, kebaikan-keburukan dan apa yang harus dan tidak harus dilakukan menjadi lebih gamblang dan kasatmata. Sebuah solusi etis tidak akan pernah bisa berlaku universal dan bisa dipakai untuk semua situasi. Dalam situasi semacam itu dibutuhkan visi untuk memandu pilihan tindakan yang akan diambil. Visi semacam itu bisa tercermin dalam narasi.

Narasi sebagai sebuah cerita menyediakan problem dengan berbagai solusi alternatifnya, baik yang disediakan oleh pengarang maupun dimunculkan oleh pembaca ketika bertemu dan berdialog dengan narasi. Sebagai sebentuk cerita, narasi tersedia dan berlimpah dalam kehidupan. Cerita-cerita sejarah, kisah kehidupan seseorang, karya fiksi, dan juga mitologi merupakan bentuk-bentuk narasi yang menjadi media untuk menjelaskan dan merefleksikan sebuah gagasan dan pilihan etis. Selain itu, narasi juga sering digunakan untuk berbagai hal, seperti menjelaskan perilaku manusia, mengartikulasikan struktur kesadaran manusia, menggambarkan identitas agen (baik manusia maupun Tuhan), serta menjelaskan strategi-strategi pembacaan (kitab suci). Namun tampaknya selama ini narasi masih sering diabaikan dalam kajian etika. Narasi masih sering dianggap sebagai wilayah sastra semata. Hal itu tidak terlepas dari pemaknaan sempit terhadap narasi yang hanya mencakup karya sastra, baik lisan maupun tulisan.

Dalam hal pembacaan, interpretasi dan pemahaman, ketika membaca dan menginterpretasi sebuah pesan, narasi selalu terlibat di dalamnya. Pemahaman seseorang akan sebuah teks selalu mencari model dari narasi yang terkait dengan tema teks tersebut. Misalnya pemahaman tentang kesabaran. Orang cenderung mendefinisikan kesabaran berdasarkan apa yang sudah dia ketahui dari narasi [sejarah] dan realitas sosialnya. Tanpa konteks sejarah, doktrin-doktrin moral semacam itu akan terputus dan kembali pada posisi awalnya, tanpa makna. Narasi semacam itu bertebaran dalam kitab [yang dianggap] suci.

Namun pertemuan narasi dan kesadaran tersebut bukannya tanpa masalah. Ketika sebuah narasi yang lahir dari sebuah kondisi sosio-historis tertentu dijadikan sebagai model pilihan dan sikap etis dalam sebuah kondisi sosial yang berbeda, ia sering menimbulkan persoalan. Problem itu terkait dengan pemakaian model yang tidak jarang berbenturan dengan nilai-nilai dan tradisi lokal. Fenomena semacam itu terepresentasi dalam perilaku sekelompok masyarakat beragama yang melakukan tipifikasi terhadap narasi-narasi kitab sucinya tanpa menimbang perbedaan konteks sosial, budaya, ekonomi, dan politik.

Di samping itu, karena narasi selalu diciptakan maka ia [pasti] memuat pesan pengarang. Narasi semacam ini juga terdapat dalam kitab suci. Dalam narasi semacam itu, kadang terjadi polemik seputar kebenaran sejarah (reference) dan gaya penceritaan (sense) narasi. Di sinilah diperlukan kepekaan dan tanggungjawab ketika berusaha menangkap pesan yang terkandung dalam narasi agar tidak terjebak pada tipifikasi dan adaptasi membabi buta terhadap alur narasi. Selain itu, karena banyaknya narasi yang mungkin saja salah atau ’menyesatkan’ maka diperlukan dialog terbuka antara pembaca dengan narasi yang melibatkan narasi lain, baik yang berupa teks maupun narasi yang sudah terfigurasi dalam kesadaran pembaca. Narasi lain dan narasi yang terfigurasi menjadi imajinasi inilah yang akan mampu menyibak kebohongan ataupun kesalahan dalam sebuah narasi. Dengan begitu, pembacaan dan pemahaman terhadap sebuah narasi akan menjadi lebih sempurna.

Tipifikasi terhadap sebuah narasi merupakan sebuah kelaziman di kalangan (komunitas) kaum beragama. Berbagai cerita yang ada dalam kitab suci dan kisah kehidupan orang-orang suci telah menjadi penuntun dalam kehidupan setiap muslim. Namun internalisasi kisah-kisah tersebut, bisa menjadi persoalan ketika itu hanya dilakukan terhadap alur ceritanya tanpa melihat aspek sosial historis yang melingkupinya. Segala yang telah dilakukan dan dikatakan selalu mempunya latar belakang historis. Oleh karena itulah maka tipifikasi terhadap apa yang dilakukan pada masa lalu, terutama dalam konteks sosial, bisa menimbulkan persoalan. Dalam konteks jihad misalnya. Akan sangat riskan jika seorang muslim hanya melihat sebuah cerita mengenai peperangan antara Nabi dan sahabatnya dengan kaum kafir tanpa melihat persoalan politik, ekonomi, dan sosial waktu itu. Jika kisah semacam itu hanya dibaca sebatas alur ceritanya dan lantas disimpulkan bahwa muslim sekarang juga harus mengambil jalan perang melawan non muslim, hal itu akan tentu akan menimbulkan persoalan serius. Dibutuhkan keluasan wawasan mengenai setiap narasi yang mencakup unsur intrinsik dan ektrinsik yang terdapat dalam narasi tersebut. Dengan begitu kesalahan pemahaman (misunderstanding) dan tipifikasi membabi buta akan bisa dihindari.

Meski begitu, tetap diperlukan prinsip-prinsip non naratif sebagai penopang dan pengontrol dalam proses duplikasi narasi dalam kesadaran. Bagaimanapun, sebuah pemahaman selalu mengandaikan langkah berikutnya, yaitu aplikasi pemahaman. Untuk menghindari kesalahan pemahaman diperlukan narasi lain sebagai komunikan bagi sebuah narasi. Tetapi dalam aplikasinya, diperlukan aspek-aspek non naratif sebagai penopangnya. Dialektika antar narasi di satu sisi dengan yang naratif dan non naratif di sisi lain inilah yang akan mampu membuat bangunan etika naratif dan menjadikan kesadaran naratif bisa ramah lingkungan dan membumi.[]

No comments:

"The Winner Never Quit and The Quitter Never Win"