08 January 2008

Ironi Negeri Seribu Janji

Tahun 2008 sudah berjalan sepekan. Riuh pesta menyambut kedatangan tahun baru telah berlalu. Hari-hari kembali berjalan seperti sediakala. Para pegawai kembali bekerja. Para pedagang kembali menjajakan dagangannya, di ruang-ruang berpenyejuk dan jalan-jalan. Para pelayan rakyat kembali berkantor setelah menghabiskan libur dengan berbelanja dan mencari makanan di luar kota.
Tahun ini menjanjikan sebuah impian dan harapan baru bagi setiap orang. Ada sekian rencana dan target yang sudah direncanakan untuk diraih di tahun ini. Tahun lalu telah lewat bersama dengan semua kenyataan yang bertumpuk dalam kenangan. Seperti hari-hari lain, tahun ini pun waktu bergerak ke depan. Semua orang merasa semakin dewasa, semakin tua, dengan bertambahnya waktu dan usia.
Indonesia pun semakin tua dan selalu ada yang berubah. Namun ada juga yang tetap sama atau setidaknya serupa. Kita pernah menyambut tahun baru dengan menatap saudara-saudara kita yang tersapu arus besar Tsunami. Disusul dengan gempa dan banjir bandang.
Tahun ini, kita mungkin melepas malam 2007 dengan manatap pijar kembang api yang manandai pergantian tahun. Namun negeri kita kembali melepas tahun dan mengawali hari di tahun baru dengan petaka yang kembali mendera anak negeri. Banjir di Jawa Tengah, Jawa Timur dan beberapa wilayah lain, puting beliung memorak-morandakan desa dan rumah-rumah warga kembali mengawali tahun. Bedanya, tahun ini para petinggi yang didampuk memgang otoritas tidak sempat meluangkan waktu dan berbagi rasa dengan warga. Mereka sedang sibuk membagi rasa empatinya kepada Jenderal bintang lima yang sudah menua itu. Jumpa pers pun digelar,bukan untuk menyikapi bencana yang datang berantai menggulung permadani kehidupan orang-orang desa tapi hanya sekedar memberika penjelasan megenai kesehatan Tetua dan jaminan yang siap diberikan untuk merawat kesehatanya.
Saat anak-anak kehilangan kehangatan ruang tidur karena banjir, pejabat tertinggi kita justru menyempatkan diri datang ke toko buku Gramedia Matraman dan meluncurkan buku yang dia tulis tentang negeri impiannya. Toko buku itupun ramai bak pasar raya. Jalan macet dan para penggila belanja memenuhi rasa hausnya dengan berkantong-kantong buku.
Sungguh, ironi di negeri ini tampaknya belum akan kunjung berakhir. Negeri ini memang sudah mulai bergerak menuju negara sejahtera (welfare state). Itu ditandai dengan titel orang terkaya yang disandang menteri koordinator kesejahteraan rakyat. Semoga kesejahteraan tidak hanya dialami sang menteri tapi juga bisa mengalir hingga lapisan terbawah. Negeri yang kaya ini mestinya bisa melahirkan orang-orang yang tak perlu kaya-raya tapi cukup sejahtera secara merata. Semestinya yang melakukan lounching buku cukup para penulis agar bukunya laris dan royaltinya cukup untuk menghidupi proses kreatif berikutnya. Semestinya pula pemimpin yang dulu diharapkan bisa menjadi jendral yang memimpin pergerakan bangsa menuju kancah dunia benar-benar menjadi jendral, bukan sekedar penulis populer.
saat orang-orang di Jakarta sibuk berbelanja hingga ke luar kota, anak-anak negeri di belahan lain harus antri panjang untuk mendapatkan minyak tanah. Sebagian lain bahkan tak lagi bisa tinggal di rumahnya karena air keruh menggenangi seluruh ruangan. Sungguh, ternalar sudah kenapa beland bisa begitu lama bercokol di negeri ini. Para Demang dan Ningrat tak pernah bisa melihat bahwa ada berjuta saudara sebangsa yang tergilas oleh amukan alam. Tak ada yang bisa diminta tolong, apalagi pertanggungjawaban. Semua seolah terjadi karena proses alamiah. Janji, janji, janji dan mimpi. Itulah yang terucap dan didapat. Saat ini, kita tak begitu mendengar janji seperti saat Tsunami dan gempa bumi. tapi yakinlah, tidak lama lagi janji akan bertebaran di negeri ini. Tahun ini, akan ada berjuta janji dilempar dan diberikan cuma-cuma. Jika masih haus dengan janji, kita boleh-boleh saja bermimpi janji tahun ini tidak akan diingkari. Namun tampaknya janji hanya tinggal janji. jika tidak begitu, manabisa kita menjuluki negeri ini sebagai negeri seribu janji. janji berbagi, janji memberi, nyatanya cuma mencuri.

No comments:

"The Winner Never Quit and The Quitter Never Win"