25 September 2008

Narasi dan Story

Setiap kali menyebut kata 'narasi' maka yang muncul di memori kita adalah cerita. Hal itu seringkali merupakan simplifikasi. Narasi sering hanya diartikan sebatas wilayah sastra. Ketika berbicara tentang narasi, imaji kita langsung terarah kepada teks sastra. Hal itu diperparah dengan kondisi pendidikan di kampus yang sering memaknai kajian narasi sebatas pada kajian sastra. Kita sering tidak menganggap bahwa narasi lebih luas dari hanya sebatas wilayah sastra. Narasi terhampar di hadapan kita dalam beragam bentuk, kata Saussure. Paul Ricoeur membedakan narasi berdasarkan referensinya menjadi narasi fiksi (fictional narrative) dan narasi sejarah (histhorical narrative). Sedangkan dari segi isi, narasi dibedakan antara story (isi/muatan cerita) dan discourse (gaya cerita). Dalam narasi, story adalah "What" atau apa yang dikisahkan, sedangan discourse adalah "Why" (bagaimana kisah itu diceritakan).

Karena struktur narasi yang seperti itu maka narasi tidak cukup hanya disekap dalam ranah sastra. Narasi berserakan di setiap sudut kehidupan dalam bentuk cerita, baik dikisahkan maupun diperankan, dituturkan maupun dituliskan, dalam bentuk gambar baik yang bergerak maupun tidak, dalam bentuk mitos, legenda, biografi, sejarah, novel, drama dan lain sebagainya.

Narasi juga telah menjadi kecenderungan pembentukan pola pikir dan bahkan sikap hidup dengan cara melakukan tipifikasi atas narasi-narasi yang terbaca, terdengar dan terlihat. Narasi telah menggerakkan kesadaran berjuta manusia untuk bertindak berdasarkan intelegensi naratif yang kadang tidak mereka sadari. Intelegensi yang lahir dan hadir dari perjumpaan dengan narasi-narasi lain di luar diri manusia maupun narasi yang sudah mengendap dan terfigurasi menjadi memori yang selalu menjadi referensi dalam berbagai pilihan sikap dan tindakan.

Sayangnya, tampaknya kita masih menganggap narasi hanya dunia lain yang cukup menyenangkan untuk diceritakan (story telling) dan mengasyikkan untuk didengarkan (story hearing). Banyak dari kita tidak cukup cermat menangkap beban tanggungjawab dari setiap apa yang kita ceritakan dan kita dengar.

Jika kita bersedia membuka memori dan menyusun narasi diri yang telah kita bangun, misalnya, maka kita mungkin akan terhenyak melihat hidup kita yang bukan hanya sebatas penggalan-penggalan cerita melainkan sebuah rangkaian panjang cerita diri yang kita goreskan semenjak kita terjun ke dunia dan menarik titik kelahiran menuju titik akhir yang bernama kematian.

Persoalannya, bukana hanya bagaimana cerita diri kita tetapi lebih pada bagmana kita menciptakan cerita diri kita tersebut. Tanpa cerita diri yang disadari, dijalani dan dihayati, kita mungkin hanya akan menjadi seoonggok daging dengan aliran darah yang memenuhi muka bumi. Kita tidak boleh berjalan dan mengalir bersama hari tanpa menyadari bahwa kita sedang menuliskan cerita diri kita.

No comments:

"The Winner Never Quit and The Quitter Never Win"