04 September 2006

Untaian Duka di Negeri Para Pendosa

Indonesia.

Negeri beribu pulau yang pada masa kanak-kanak dikenalkan padaku sebagai negeri makmur sentosa kini berubah menjadi negeri petaka. Bencana datang silih berganti mengalirkan air mata dari sudut mata anak negeri.

Dulu, aku diajari lagu "bukan lautan hanya kolam susu/kail dan jala cukup menghidupimu/tiada topan tiada badai kau temui/ikan dan udang menghampiri dirimu/orang bilang tanah kita tanah surga/tongkat kayu dan batu jadi tanaman[...]"

Lagu itu masih membekas dalam ingatanku. Namun badai tsunami, gempa bumi, dan ancaman merapi mengubah persepsiku tentang Indonesia. Indonesia bukan lagi negeri yang bebas dari petaka. Setiap saat, alam siap mengancam kehidupan dengan segala aktivitasnya. Kemarau membuat para petani merana, hujan sering menyisakan lumpur bagi warga ibukota, dan badai mulai menghantui para nelayan. Bahkan tanpa hujan pun, saudara-saudaraku di Sidoarjo harus kehilangan tempat tinggalnya. Hasrat menguras isi perut bumi justru mengalirkan lumpur hingga ke bilik-bilik warga.

Belum lagi ulah para monster berdasi yang terus menggerogoti kekayaan negariku. Mereka telah membuat negeri yang dulu menggelembung dengan kekayaan alam ini mengempis dengan kulit keriput. Ia terpaksa dan dipaksa menerima suplemen dari para rentenir asing untuk mengembalikan kesehatan fisiknya. Sayang, sumplemen itu kini justru menjadi beban berat yang harus ditanggung setiap generasi. Negeri yang dulu indah molek ini kini menjadi bungkuk oleh beban utang demi mempercantik diri.

Di sisi lain, agama, salah satu tiang penyangga kehidupan negeriku ini, juga telah menjadi momok yang menakutkan banyak pihak. Ia telah diolah menjadi bahan peledak yang siap meledakkan emosi setiap warga. Di negeri ini, agama telah menampilkan sosoknya yang menyeramkan karena ulang seglintir orang. Alih-alih menunjukkan jalan yang benar, agama justru difungsikan untuk mencari popularitas, kekuasaan dan kekayaan. Para penjaja surga berkeliaran di jalan-jalan dan menebar senyum di layar-layar kaca untuk mencari keuntungan.

Duka yang terasa di satu belahan negeri seperti tak terasa di belahan yang lain. Petaka dan bencana seolah menjadi hal biasa. Apakah anak negeri ini sudah sebegitu kuat menaggung derita ataukah mereka sudah begitu bebal. Sementara para penguasa asyik menebar kata dan mengeruk harta, rakyat menikmati nestapa tanpa bisa berbuat apa-apa.

Duka di negeriku yang bernama Indonesia ini bagai untaian mutiara yang selalu menarik untuk dipertontonkan, mengasyikkan jika dibicarakan, dan menjanjikan untuk dijajakan. Para pendosa banyak yang menjadi kaya dengan datangnya bencana. Para penjaja surga menangguk laba dengan menyarankan segala yang 'katanya' bisa mengantarkan kita ke surga.

Jika para pendosa tidak segera enyah dari dunia nyata bernama Indonesia maka untaian duka ini tampaknya akan terus bertambah panjang. Kita hanya bisa berdoa dan mempersiapkan diri melakukan 'kudeta'. Bebaskan diri dari hegemoni para pendosa. Tinggalkan para penjaja surga, lupakan para penguasa. Tiada yang menghadapi dan merasakan semua derita itu selain kita, warga jelata. Jadi jangan pernah gantungkan asa dan rasa iba pada para pendosa.

No comments:

"The Winner Never Quit and The Quitter Never Win"